Oleh : Mahyudar MD
Ada sebuah titik kritis dalam perjalanan sebuah bangsa, sebuah jurang kehancuran yang menganga ketika pilar-pilar fundamentalnya mulai rapuh: keadilan dan kejujuran. Ini bukan sekadar teori politik, melainkan denyutan nyeri yang kita rasakan dalam relung kehidupan sehari-hari. Kita menyaksikan sendiri, bagaimana koneksi seringkali lebih utama daripada prestasi, bagaimana orang jujur kerap kali kalah oleh bayangan orang yang dikenal, dan di sanalah, perlahan tapi pasti, ruh sebuah bangsa mulai tercabut.Bayangkan sebuah rumah yang dibangun tanpa fondasi yang kokoh. Sekokoh apa pun dinding dan atapnya, badai kecil saja bisa meruntuhkannya. Begitulah keadilan. Tanpa keadilan, tatanan sosial hanya ilusi. Hukum menjadi alat bagi segelintir orang, tumpul ke atas, namun begitu tajam menghunjam ke bawah. Kepercayaan rakyat yang seharusnya menjadi oksigen bagi pemerintah perlahan menipis, digantikan oleh rasa frustrasi dan keputusasaan yang menggunung. Ketika masyarakat merasa hak-hak mereka diinjak-injak, ketika kezaliman merajalela tanpa ada pertanggungjawaban, maka yang tumbuh bukanlah harmoni, melainkan bara api yang siap membakar apa saja.
Seiring dengan keadilan, kejujuran adalah nafas kehidupan berbangsa. Ia adalah mata uang yang tak lekang dimakan waktu, pondasi segala bentuk kepercayaan. Ketika kejujuran sirna dari sanubari para pemimpin, keputusan-keputusan yang lahir tak lagi untuk kemaslahatan rakyat, melainkan demi perut sendiri atau kelompoknya. Birokrasi yang seharusnya melayani, berubah menjadi sarang korupsi, kolusi, dan nepotisme—penyakit yang menggerogoti hingga ke sumsum. Masyarakat pun kehilangan pegangan; kecurigaan menjadi teman akrab, tipu daya menjadi seni, dan rasa saling percaya tinggal kenangan.
Titik paling menyakitkan dari erosi ini adalah ketika kita harus menyaksikan koneksi dan "orang dalam" mengalahkan meritokrasi. Bayangkan betapa pedihnya melihat mereka yang berprestasi, yang telah berjerih payah menimba ilmu dan mengasah diri, harus tersingkir hanya karena tak punya "kenalan". Betapa hancurnya hati menyaksikan orang jujur yang berintegritas dan berkompeten harus tunduk di hadapan mereka yang dikenal namun minim kapasitas. Ini bukan hanya masalah individu, melainkan tragedi nasional. Negara kita dipimpin oleh orang-orang yang tidak pada tempatnya, keputusan-keputusan krusial diambil tanpa dasar yang kuat, dan pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung akibatnya. Semangat berkarya pupus, harapan masa depan memudar, dan benih-benih apatisme mulai tumbuh subur.
Ajaran agama kita, dalam hal ini Islam, telah jauh-jauh hari mengingatkan kita akan bahaya ini. Dalam Al-Qur'an, Surah An-Nisa ayat 58, Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Ayat ini bukan sekadar kalimat suci, melainkan peringatan keras. Amanat baik itu jabatan, kekuasaan, atau tanggung jawab harus diberikan kepada yang berhak, kepada ahlinya. Dan ketika memimpin, keadilan adalah mutlak. Jika tidak, jika amanat disalahgunakan dan keadilan dicampakkan, maka kehancuran adalah harga yang harus dibayar.
Maka, sudah saatnya kita merenung, bertindak, dan kembali pada fitrah sebuah bangsa yang bermartabat. Kita harus bersatu, dari pucuk pimpinan hingga rakyat jelata, untuk mengembalikan keadilan sebagai panglima, kejujuran sebagai mahkota, dan meritokrasi sebagai penentu arah. Hanya dengan menghidupkan kembali pilar-pilar ini, kita bisa berharap bangsa ini tidak sekadar bertahan, melainkan benar-benar bangkit dan bermartabat. Apakah kita akan membiarkan api kehancuran ini terus membakar, ataukah kita akan bahu-membahu memadamkannya dengan integritas dan keberanian? Pilihan ada di tangan kita.